Yesterday,
15th November 2011 was my father’s 53rd birthday. I don’t have such a perfect present
representing his perfect love for us. Always be the best husband and father.
Happy Birthday Bapak.
God
Bless You
Love
you...
Ibuk,
Rita, Mega, Galih.
My beloved parents :) |
“Argh, bokap gue gak asik, cuma ngeselin doank!”
“Ckck, anak kok susah sekali diatur, cuma bikin masalah!”
Memang aku tidak tahu apa masalah mereka, anak yang membenci
bapaknya, atau bapak yang membenci anaknya. Sangat disayangkan, bukankah
seharusnya mereka saling mengasihi? Dan itu jauh lebih indah bukan? Hubungan
antara ayah dan anak mengingatkanku akan kisah The Prodigal Son. Kisah
dimana akhirnya sang ayah tetap mau menerima kembali anaknya yang telah lama
hilang. Bahkan sang ayah semakin mengasihinya, walaupun sang anak telah hidup
berfoya-foya dengan menghambur-hamburkan harta ayahnya. Walaupun dalam kisah
ini tokoh ayah sebagai perumpamaan Bapa di surga dan anak-anaknya sebagai kita,
manusia. Namun, setidaknya kita bisa melihatnya dengan sudut pandang yang berbeda,
yakni dalam kehidupan keluarga kita sendiri.
Hubungan seorang ayah dengan anaknya.
Sering sosok ayah terabaikan daripada sosok ibu. Bahkan sosok ibu pun lebih banyak diangkat
sebagai tema artikel atau reality show. Tanggal 22 Desember pun didedikasikan
khusus sebagai harinya para ibu. Beberapa pribadi bahkan menilai sosok ibu jauh
lebih berperan dominan dalam perkembangan seorang anak. Toh pepatah bilang, surga
berada di bawah telapak kaki ibu. Memang tidak bisa dipungkiri jika peran dan
perjuangan seorang ibu dalam hidup seseorang sangatlah berarti. Namun, tahukah
kalian kenapa janin manusia hanya bisa terbentuk jika ovum dan sperma bertemu?
Secara teoritis, tak perlu dijelaskan, banyak orang dengan mudah
menjabarkannya. Namun, aku merasa Tuhan punya maksud atas itu semua.
Kita tercipta karena adanya ayah dan ibu yang saling
melengkapi. Layaknya kaki kanan dan kiri,pengandaiannya ibu sebagai kaki kanan
dan ayah sebagai kaki kiri. Jika salah satu kaki tidak dapat berfungsi dengan
baik atau bahkan tidak ada, pasti pincang. Mungkin kita masih bisa
berjalan,dengan bantuan alat, atau kaki buatan mungkin, tapi toh akan tetap
berasa beda bukan?. Karena itu, jangan memandang sebelah mata akan sosok
seorang ayah. Keberadaannya patut kita syukuri dan hargai. Walaupun kadang
banyak orang bilang jika karakter seorang ayah itu keras, berkuasa, atau ingin
selalu nomor satu. Akan tetapi, sadarkah kita? Tanggung jawab yang harus beliau
ampu itu sungguh berat. Mulai dari mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan yang
tiada batasnya hingga memberikan tempat yang nyaman bagi istri dan
anak-anaknya.. Banyak anak yang memimpikan mempunyai ayah yang super, bisa
mengerjakan apa-apa. Menuntut ini itu tanpa memikirkan kemampuan sang ayah. Tak
jarang si anak pun marah hingga ngambek jika keinginannya tidak bisa terpenuhi.
Dulu aku sering begitu bahkan sekarang pun ketika permintaanku tidak terpenuhi,
masih sering aku merajuk. Namun, aku selalu kembali tersadar bahwasanya ayahku,
yang lebih nyaman kupanggil bapak, bukan milyuner ataupun a perfect man who can
do and give anything.
Bapakku memang bukan pria yang sempurna dan
kaya raya, tapi aku tahu, ia berusaha untuk memberikan cinta yang sempurna dan
tiada batas kepada keluarganya. Bapakku pernah rela memakai kaos kaki bekas
anak-anak perempuannya yang sudah longgar daripada beli yang baru, masih bisa
dipakai katanya. Bahkan bapakku pernah membeli sepasang sepatu kerjanya seharga
dua puluh lima ribu demi membelikanku sepatu seharga seratus ribu. Ya, bapak
membelinya di tukang reparasi sepatu. Dulu pernah juga bapakku memakai sepatu
yang belum kering benar saat ke sekolah karena hanya punya sepasang sepatu. Padahal
bapakku seorang guru, yang secara penampilan, bisa dibilang menjadi salah satu tolak
ukurnya. Tapi ya itu bapakku, bukan pelit tapi memang sangat irit demi masa
depan ketiga anaknya. Meski sekarang keadaan ekonomi keluarga kami sudah lebih
baik, tetap saja bapakku masih setia dengan sikap superhematnya. Namun, sikap
superhematnya hanya dia berlakukan untuk kebutuhan pribadinya sedangkan untuk
urusan keluarga, pendidikan, kesehatan dan sosial, orang Jawa bilang, ia loma (baca:murah hati) sekali.
Pepatah mengatakan “like
father like son”, mungkin memang benar adanya. Bapakku mengasihi anak-anaknya dengan sungguh
seperti halnya simbah kakungku juga sangat mengasihi bapakku. Meski banyak
perbedaan diantara mereka berdua, tapi
sering juga kutemukan persamaan diantara keduanya. Raut muka mereka memang
galak tapi tatapan matanya teduh, penuh kasih. Hubungan mereka sangat baik,bahkan
simbah kakung hanya mau dicukur rambutnya oleh bapakku saja. Jadi bisa
dibayangkan, jika setahun saja bapakku tidak menengok simbahku, simbahku
mungkin akan keren sekali dengan rambut putih gondrongnya.
Beberapa bulan yang lalu, saat aku mengunjungi simbahku. Di
suatu pagi, simbah kakung (SK) bertanya padaku,
SK : “Ta,
bapakmu sekolahe (baca:kuliah) nangdi?“ (Ta,bapak kamu sekolahnya dimana?”.
Aku : “Wonten
SADHAR mbah” (di SADHAR mbah )”
SK : “SADHAR,
Sanata Dharma?, podo koe berarti?” (SADHAR, Sanata Dharma?, sama
sepertimu?)
Aku : “Inggih
mbah“(iya mbah).
SK : “Mlebune
dina opo wae?” (Masuknya hari apa saja?).
Aku : “Dinten
Sabtu kaleh Minggu mbah” (hari Sabtu dan Minggu mbah).
Tampak
simbahku berpikir lama, aku pun berpikir pembicaraanku sudah selesai, namun
tiba-tiba simbahku pun bertanya lagi ,
SK : “Ooo,
lha nek sekolahe Sabtu Minggu, njuk nang grejane kapan?”(Ooo,kalau
sekolahnya Sabtu dan Minggu, terus ke gerejanya kapan?”
Aku pun terhenyak, simbahku yang sudah berusia hampir satu
abad masih memikirkan perkembangan iman bapakku yang sudah berumur lebih dari 5
dekade. Aku jadi tahu alasan mengapa bapakku dulu saat tahun-tahun pertama aku
kuliah di Jogja, jauh dari orang tuaku di Magelang, bapakku selalu bertanya, ”Dek, wis nang greja durung?” (Dek,
sudah ke gereja belum?), setiap kali menelponku. Namun, aku malahan lebih
sering malas menjawabnya dengan tidak peduli atau malah mengganti topik
pembicaraan. Aku pikir toh aku sudah besar, masak harus selalu diingatkan untuk
selalu ke gereja. Apa bapak tidak percaya kepadaku. Lama kelamaan bapak tidak
lagi menanyakan hal itu padaku. Tak tahu, mungkin karena bapak tahu kalau aku
tidak suka diingatkan hal itu atau karena memang bapak sudah percaya padaku? Kini
aku sadar,aku kadang ingin bapak menanyakan hal itu lagi. Aku butuh dan akan
selalu ingin bapak mengingatkanku agar aku selalu ingat pada Tuhan, rajin berdoa
dan tak lupa ke gereja.
Masihkah kau membenci ayahmu? Jangan dibiarkan berlarut-larut
hingga terlambat dan akhirnya kamu menyesal. Saat ini, datangi dia, peluk dia
dan katakan, “Ayah, maafkan aku sesungguhnya aku sangat mencintaimu”. Dan lihat
jika perlu tunggulah sebentar, pasti sesuatu akan terjadi. Buat ayahku, love
you, Bapak.
“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam
Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu-ini adalah suatu
perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu
berbahagia dan panjang umurmu di bumi. Dan kamu, bapa-bapa, janganlah
bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam
ajaran dan nasihat Tuhan.” (Ef. 6:1-4)
Gini ni gaya bapakku klo lagi mencukur rambut simbah kakungku :) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar