Aku masih ingat, hari itu
hari Jumat pukul satu siang antara Gejayan- Gemawang. Aku duduk tepat di depan
seorang simbah (baca: nenek) tua dan seorang suster (baca: biarawati) di sebuah
angkutan mini D2. Kudengarkan percakapan mereka sepanjang perjalananku. Tanpa
sengaja kupandangi penampilan simbah itu . Ya, aku merasa lebih klop
menyebutnya “simbah”, terkesan lebih njawani (berbau Jawa ) daripada kata “nenek”. Ia berkebaya lusuh
dengan jarik (baca: kain) yang dipakai tidak sampai menutupi seluruh kakinya,
bersandal jepit sangat sederhana, berselempang selendang yang dipakai sebagai p
e n y imp a n b awa a n n y a, dan bersanggul rambut sendiri yang sudah
memutih. Tubuhnya pun kurus kering, wajahnya sangat polos dan letih karena
beban hidup yang berat, kulit tangan dan kaki yang sudah kisut (berkerut) dan gelap
dimakan usia. Aku menduga simbah ini berusia di atas 70 tahun, sangat jauh dari
usiaku maupun suster di sampingnya. Di tangannya aku melihat uang receh yang ia
pegang erat yang sepertinya akan digunakannya untuk membayar ongkos angkot.
“Simbah mau ke mana?”, tanya
suster ini tiba-tiba sambil tersenyum . Aku kurang mendengar dengan jelas
kemana tujuan si simbah karena bisingnya suara kendaraan sepanjang perjalanan
ini. Yang kutangkap, simbah ini nantinya akan turun di Mirota Kampus (depan KFC
Simanjuntak), lalu masih sekali lagi naik angkot menuju rumahnya, entah dimana.
Kurasa perjalanan si simbah jauh. Si simbah balik bertanya pada sang suster, “Asalnya
dari mana?” . “NTT, mbah”, jawab si suster. Si simbah pun manggut-manggut (mengangguk-anggukan kepala
tanda mengerti atau setuju) namun sepertinya ia tak
tau di mana itu NTT karena ia
mengulangi pertanyaannya hingga 2 kali. Tapi karena jawaban yang diterima tetap
sama, ia hanya kembali manggut- manggut, tanda seolah-olah dia sudah mengerti.
Aku hanya tersenyum. Walaupun si simbah tidak tahu dimana letak NTT, tapi
setidaknya simbah berpakaian lusuh ini bisa berbahasa Indonesia. “Kerjanya kok
jauh mbah, kenapa nggak di. rumah aja?”, tanya si suster. “Enggak, harus cari
uang buat makan. Dulu ada orang mau bantu, katanya saya ndak usah kerja, suruh
datang saja kerumahnya beberapa hari sekali biar dikasih uang atau makan, tapi
pas saya kesana, eh jebule
(ternyata)
malah kecelik
(tidak
ketemu) karena mereka sudah pindah ke Jakarta, nggak tahu sekarang dimana,”
jelas si simbah. Dalam hati aku hanya bisa bergumam, “Hah?”, Ya, walaupun aku
tidak tahu pasti apa pekerjaan si simbah. Tapi,
aku yakin pekerjaannya pasti halal dan yang pasti tidak merugikan orang
lain. Aku begitu yakin setiap melihat sorot mata dan mimik wajahnya yang begitu
jujur dan tulus.
“Kenapa nggak diantar anaknya
aja mbah? kan jauh,” lanjut si suster. “Anak dan cucu saya sudah mati semua
kena gempa kemaren. Saya masih hidup, wong pas pagi-pagi pas gempa saya sudah bangun, nyapu -nyapu depan rumah, lha anak dan
cucu saya masih pada tidur di dalam rumah. Mereka mati semua kebruk'an (kerubuhan) di dalam rumah,
lha yang yang masih hidup ya cuma tinggal saya tok,” jelas si simbah terbata-bata
bukan karena terharu mengingat kisahnya masa lalu, namun karena keterbatasannya
berbahasa Indonesia. Aku terhenyak dan secara refleks aku memandang kedua belah
mata simbah ini, terlihat jelas matanya menerawang jauh, entah, begitu dalam,
mungkin teringat kisahnya. Kulihat. Bukan air mata namun ketegaran dan
kepasrahan begitu jelas tergambar di matanya. Aku hanya bisa, membatin, “Ya ampun, Tuhan.” Si suster hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil sesekali berkata, “Oh... ya?”. Mungkin ia juga merasa terharu sepertiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar