......................
Obrolan terus berlanjut, saling tanya dan jawab. Aku ikut asyik
mendengarnya sambil sesekali tersenyum pada suster yang begitu antusias
mengobrol dengan si simbah. Tak terasa Mirota sudah dekat, dan si simbah ini
akan turun dari angkot D2 ini dan mencari angkot lain lagi untuk sampai di
rumahnya nanti. Si simbah kembali menghitung uang receh yang dipegangnya tadi
erat- erat, memastikan bahwa uangnya pas, tidak kurang. “Dua ribu lima ratus
to?”, tanya simbah pada si suster untuk sekali lagi memastikan bahwa uangnya
cukup untuk membayar angkot sesuai tarif. “Iya, tapi udah mbah, biar saya bayarin aja”, kata
si suster tulus. “Lho, tapi wong ini
udah ada kok”, jawab simbah sambil
memperlihatkan uang recehannya. Aku terheran, hah, simbah ni keren banget ya,
mau dibayarin kok gak mau. Padahal kan uangnya bisa digunakan buat yang lain. Di
hidupnya yang serba kekurangan, ia masih berpikir untuk bisa mematuhi sebuah
aturan khusus yang melibatkan uang, dalam hal ini “tarif angkutan”.
Aku jadi teringat beberapa tahun yang lalu, saat aku naik bis
pulang kampung. Tarif normal Jogja-Magelang waktu itu masih tujuh ribu rupiah tiap
orang. Seperti biasa aku juga selalu membayar sesuai tarif. Tapi ada seorang
gadis, sepertinya juga anak kuliahan. Mungkin aku sok tau, tapi terlihat dari
pakaian yang bisa dibilang orang mampu dan cara bicaranya seperti seorang
mahasiswi, katakanlah orang terpelajar, hanya membayar lima ribu saja. Saat
ditanya sang kernet, si gadis menjawab kalo dia akan turun di Muntilan. Pikirku, ya pantaslah toh tarif Jogja-Muntilan memang
lima ribu dan berarti nanti dia turun terlebih dahulu dari aku. Namun anehnya,
sampai di Muntilan si gadis ini tidak turun. Saat aku turun tempat perhentianku
yang memang sudah memasuki wilayah Magelang, si gadis ini pun belum juga turun.
Yah, berarti dia bohong dong demi dapet ongkos yang lebih murah, kok gitu sih?.
Aku jadi semakin mengagumi si simbah. Seorang gadis, yang seorang anak kuliahan
ternyata kalah sama simbah tua yang mungkin hidupnya serba kekurangan. Aku jadi
malu, jangan-jangan aku juga sering gitu ya?
Kembali ke angkot yang kutumpangi sekarang. Saat si simbah
berusaha menolak bantuan si suster. Si suster berusaha meyakinkan si simbah. “Udah, nggak papa, uangnya disimpan aja buat bayar
angkot berikutnya”, terang si suster sambil menyelipkan sejumlah uang ke tangan
simbah ini. Dengan masih heran, si simbah memandang benar wajah si suster
sambil berkata, “Terimakasih sekali ya, semoga Tuhan memberkati.” Aku tertegun
mendengar doa si simbah yang begitu lugu tapi sangat tulus. Si suster menjawab
dengan senyum. Dengan bahasa Jawa halus, si simbah meminta si sopir angkot
untuk berhenti. Akhirnya si simbah pun turun sambil sekali lagi mengucapkan
terima kasih. Si simbah dengan sangat pelan dan hati-hati turun dari angkot dengan
berpegangan pintu angkot. Rupanya ia sudah sangat rentan hingga ia tidak bisa langsung
berdiri tegap. Kuperhatikan saat angkot yang kutumpangi sudah mulai menjauh, ia
masih merangkak meraba-raba trotoar berusaha berdiri. Aku kembali tertegun....
ternyata raganya
sudah rapuh…
jauh dari jiwanya
yang tegarnya begitu ampuh….
aku jadi merasa
terlalu angkuh…
saat “berjalan”
sebentar saja sudah mengeluh…
Dalam
hati aku berucap, “Mbah, terima
kasih juga, aku merasa terberkati juga hari ini karena kehadiranmu di
angkot tua ini mbah”. Kukagum bukan karena kebaikan suster, tapi karena kepolosan dan ketegaran
simbahlah yang menghidupkan kasih ini. Kasih Tuhan menyapa di angkot D2 ini ^0^…”
P.S :
- Tulisan lama tapi selalu mengingatkanku pada sosok simbah putriku. Perjuangan luar biasa mbah putriku mendampingi mbah kakungku dan mengurus kesebelas putra-putinya. Jadi gambarnya pake foto mbah putriku ya. Oya, mbah putriku juga masih sehat dan kuat, hidup mbah putri!!! ^0^
- Sebelumnya refleksiku ini pernah dimuat di majalah kampus Tiramisu, edisi No.1 Tahun ke-1, Agustus 2009 dengan judul yang sama . Membaca kembali artikel ini semakin membuatku kembali lebih bersyukur dan berusaha bersikap adil bagi sesama. GBU ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar