Sabtu, 29 Oktober 2011

Jogja Java Carnival 2011

iring-iringan kendaraan hias dibuka dengan gadis pembatik ini
 
wah, telat banget ya baru posting JJC sekarang hehehe...
gapapalah, syarat biar bisa dibilang cinta Jogja (???)

Kali ini kami berempat telah mufakat dan sepakat nonton JJC, bahkan mbakyu kami tercinta sudah dibela-belain datang jauh-jauh dari Surabaya demi kami, eits maksud saya demi nonton JJC.
Berhubung sudah bisa dipastikan bahwasanya foto-foto luar biasa yang berkaitan dengan JJC sudah banyak  beredar, maka kali ini saya tampilken yang lainnya saja ya, (maaf cuma dikit n mungkin g nyambung :P)


mbaknya cantik lho dan Jogja banget :D

simple tapi kreatif dan kata-katanya (tetep) Jogja banget :D

sepertinya para penonton lebih seneng kesampluk hehe

masyarakat Jogja tumpleg bleg

Jogja yang menerangi

Tantangan bukan Rintangan, wah mantep bro :)


Dan inilah kita, para gadis pecinta Jogja dengan segala keistimewaannya....(numpang eksis :))
ki-ka: Mega, Diar, mbakayune Ipung


ki-ka:Mega-Rita-Diar





Jumat, 28 Oktober 2011

Dolan ke Wates lanjut Kulon Progo


ditepi Waduk Sermo ^^

Siang itu kira-kira setahun yang lalu (baru sempet ni dibikin tulisannya hehe...), kami bertiga mengalami kepenatan yang luar biasa. Hal ini dikarenakan kecapekan yang tidak biasa karena semalaman capek foto-foto dalam rangka pyjamas party tapi lebih tepatnya pesta daster (maklum kita punyanya daster bukan piyama, heee :P).
dibilang norak, dukun bertindak!(geje, hehe...)


Kalo mau dibilang kurang kerjaan, memang, maklum kita di jaman-jaman galau saat itu, jaman-jaman awal penyusunan skripsi :D. Oya saat itu kita sedang berada di daerah Wates. Pagi-pagi setelah berburu jajan di pasar, agak siangan kita pengen cari gebetan ni daerah alun-alun Wates. Tapi berhubung ketemunya malah sama adik2 SMP-SMA dibawah umur terpaksa kita tolak mereka, maklum , takut dibilang pedofil (opo sehhh...).
arena momong ni :D
maklum pas jaman kita kecil belum ada maenan ginian :P

sok gimana gitu hehe...

nunggu siapa mbak?

ditunggu tu mbak, malah methentheng

Setelah photo session mengabadikan keindahan  kita, uppss maksud saya keindahan alun-alunnya,kita cabut ke tempat lain. Berbekal ilmu sok tau, berani kesasar, dan rai gedheg karena banyak bertanya, kami melaju dengan kecepatan, maksud saya kelambatan rata-rata, maklum saya yang memboncengkan Sari, dan Neti bawa motor sendiri , menuju ke sebuah waduk, yang belakangan baru kutahu namanya, hehe, yakni Waduk Sermo. Setelah menikmati jalan yang berliku yang diapit pohon-pohon rindang disertai tragedi motor saya yang nyaris melorot dan hampir ngglinding karena  salah masukin gigi, sampailah kita di kawasan Waduk Sermo. Waduk eksotis ini terletak di Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap kabupaten Kulonprogo yang berjarak sekitar 5km (ada juga yg ngomong 8 km) dari kota Wates.
Waduk Sermo

Waduk Sermo

Waduk Sermo

numpang eksis diantara keelokan Waduk Sermo

asli, sebenarnya disitu banyak semutnya, hehe..:)

itu Sari lho

eh Sari lagi

Neti ni

di tepian Waduk Sermo dari sisi yang berbeda, banyak sampah *sigh

lagi liat orang mancing di tepian Waduk Sermo

nah, nongollah si Rita

deketnya Sari itu ada pintu jembatan, mungkin karena tau ada kita trus ditutup, hehe

pemandangan di sekitar waduk

masih disekitar waduk bareng Neti
berdiri sendiri :D


deg-degan ni aslinya di pinggir tebing gitu

akhirnya minta ditemeni si Sari hehe


KITA!!!

KITA!!!(lagi!!)
Berhubung kamera pinjaman yang saya bawa sedang mutung, maka pakailah kita kamera hape Tapi lumayanlah hasile *membesarkan hati :D

Rabu, 26 Oktober 2011

Ada kasih di Angkot D2 (Part II)


......................

Obrolan terus berlanjut, saling tanya dan jawab. Aku ikut asyik mendengarnya sambil sesekali tersenyum pada suster yang begitu antusias mengobrol dengan si simbah. Tak terasa Mirota sudah dekat, dan si simbah ini akan turun dari angkot D2 ini dan mencari angkot lain lagi untuk sampai di rumahnya nanti. Si simbah kembali menghitung uang receh yang dipegangnya tadi erat- erat, memastikan bahwa uangnya pas, tidak kurang. “Dua ribu lima ratus to?”, tanya simbah pada si suster untuk sekali lagi memastikan bahwa uangnya cukup untuk membayar angkot sesuai tarif.  “Iya, tapi udah mbah, biar saya bayarin aja”, kata si suster tulus. “Lho, tapi wong ini udah ada kok”,  jawab simbah sambil memperlihatkan uang recehannya. Aku terheran, hah, simbah ni keren banget ya, mau dibayarin kok gak mau. Padahal kan uangnya bisa digunakan buat yang lain. Di hidupnya yang serba kekurangan, ia masih berpikir untuk bisa mematuhi sebuah aturan khusus yang melibatkan uang, dalam hal ini “tarif angkutan”.
Aku jadi teringat beberapa tahun yang lalu, saat aku naik bis pulang kampung. Tarif normal Jogja-Magelang waktu itu masih tujuh ribu rupiah tiap orang. Seperti biasa aku juga selalu membayar sesuai tarif. Tapi ada seorang gadis, sepertinya juga anak kuliahan. Mungkin aku sok tau, tapi terlihat dari pakaian yang bisa dibilang orang mampu dan cara bicaranya seperti seorang mahasiswi, katakanlah orang terpelajar, hanya membayar lima ribu saja. Saat ditanya sang kernet, si gadis menjawab kalo dia akan turun di Muntilan. Pikirku, ya pantaslah toh tarif Jogja-Muntilan memang lima ribu dan berarti nanti dia turun terlebih dahulu dari aku. Namun anehnya, sampai di Muntilan si gadis ini tidak turun. Saat aku turun tempat perhentianku yang memang sudah memasuki wilayah Magelang, si gadis ini pun belum juga turun. Yah, berarti dia bohong dong demi dapet ongkos yang lebih murah, kok gitu sih?. Aku jadi semakin mengagumi si simbah. Seorang gadis, yang seorang anak kuliahan ternyata kalah sama simbah tua yang mungkin hidupnya serba kekurangan. Aku jadi malu, jangan-jangan aku juga sering gitu ya?
Kembali ke angkot yang kutumpangi sekarang. Saat si simbah berusaha menolak bantuan si suster. Si suster berusaha meyakinkan si simbah.  “Udah, nggak papa, uangnya disimpan aja buat bayar angkot berikutnya”, terang si suster sambil menyelipkan sejumlah uang ke tangan simbah ini. Dengan masih heran, si simbah memandang benar wajah si suster sambil berkata, “Terimakasih sekali ya, semoga Tuhan memberkati.” Aku tertegun mendengar doa si simbah yang begitu lugu tapi sangat tulus. Si suster menjawab dengan senyum. Dengan bahasa Jawa halus, si simbah meminta si sopir angkot untuk berhenti. Akhirnya si simbah pun turun sambil sekali lagi mengucapkan terima kasih. Si simbah dengan sangat pelan dan hati-hati turun dari angkot dengan berpegangan pintu angkot. Rupanya ia sudah sangat rentan hingga ia tidak bisa langsung berdiri tegap. Kuperhatikan saat angkot yang kutumpangi sudah mulai menjauh, ia masih merangkak meraba-raba trotoar berusaha berdiri. Aku kembali tertegun....
ternyata raganya sudah rapuh…
jauh dari jiwanya yang tegarnya begitu ampuh….
aku jadi merasa terlalu angkuh…
saat “berjalan” sebentar saja sudah mengeluh…
Dalam hati aku berucap, “Mbah, terima kasih juga, aku merasa terberkati juga hari ini karena kehadiranmu di angkot tua ini mbah”. Kukagum bukan karena kebaikan suster, tapi karena kepolosan dan ketegaran simbahlah yang menghidupkan kasih ini. Kasih Tuhan menyapa di angkot D2 ini ^0^…”


P.S :
  • Tulisan lama tapi selalu mengingatkanku pada sosok simbah putriku. Perjuangan luar biasa mbah putriku mendampingi mbah kakungku dan mengurus kesebelas putra-putinya. Jadi gambarnya pake foto mbah putriku ya. Oya, mbah putriku juga masih sehat dan kuat, hidup mbah putri!!! ^0^
  • Sebelumnya  refleksiku ini pernah dimuat di majalah kampus Tiramisu, edisi No.1 Tahun ke-1, Agustus 2009 dengan judul yang sama . Membaca kembali artikel ini semakin membuatku kembali lebih bersyukur dan berusaha bersikap adil bagi sesama. GBU ^^

Selasa, 25 Oktober 2011

Es Tape feat Cha-Cha en Ceres

Halo hai,  balik lagi topik kita  “masalah selera, kembali padamu :D “ hehehe....
Kebetulan aku ni paling demen ma coklat chip berlabel Cha-Cha (maaf ya sebut merek, lha piye maneh, ben jelas gitu hehehe...). Nah, pas pengen yang seger-seger trus liat isi lemari es, eh nemunya tape ama meses, trus kepikirkan aja, gimana kalo aku buat trio antara tape-meses Ceres -coklat  Cha-Cha. Semoga aja seru, klo gak seru ya diseru-seruin, sama gue gituhhhh... :P

Es Tape-Cha2-Ceres
  Bahan-Bahan:
  • Tape singkong secukupnya (tape ketan juga bisa ^^)
  • Meses Ceres secukupnya (merek lain juga bisa, tapi yang ini yang paling enak yang mampu aku beli hehehe..)
  • Coklat Cha-Cha secukupnya (merek lain juga boleh ^^)
  • Es batu yang udah dicetak kecil-kecil secukupnya
  • Gula pasir secukupnya
  • Air mateng secukupnya

Cara Membuat :
Semua bahan tinggal dicampur jadi satu dimasukin dalam gelas, dengan urutan tape, gula air, cha-cha, ceres, dan es.. Kemudian diaduk pelan-pelan pake sendok (kalo tega pake tangan juga boleh :O) Nah, jadi deh ,..slurrrppppp, segerrrr....Selamat mencoba, jangan lupa pake rumus , secukupnya ^0^

susunannya jadi kyk gini ni :)

Rica-Rica Ayam Rempah

Masak apa kita hari ini? Ehm, coba deh resep kreasiku berikut ini, pasti beda dengan yang lain...Ingat!hanya ada 2 jenis makanan di dunia ini yakni ENAK dan ENAK BANGET! It's up to you guys! :D

This is it, Rica-Rica Ayam Rempah ala (calon) Chef Rita and Mega! ^^
 cekidot >>>
Rica-Rica Ayam Rempah :)



Bahan-Bahan:
  • 1 kg ayam dipotong-potong (besar kecilnya sesuai selera)
  •  2 ruas jahe @4cm dimemarkan
  • 2 batang sere dimemarkan
  •  5 lembar daun jeruk segar
  • 3 buah daun salam
  • 1 batang kayu manis @4 cm 
  • 1 buah jeruk nipis diambil airnya
  • 1 lembar daun pandan
  • 11 siung bawang merah diiris
  • ½ butir bawang Bombay diiris
  • 1 buah tomat dipotong dadu
  • 2 butir pekak (bunga lawang)
  • minyak goreng secukupnya
  • gula jawa secukupnya
  • garam secukupnya
  • air secukupnya
 Bahan-Bahan yang Dihaluskan :
  • merica putih secukupnya
  • pala secukupnya
  • 13 bawang putih
  • 15 buah cabe merah keriting
  • setengah sendok teh garam
 Cara Membuat:
  1. Rebus ayam yang telah dipotong-potong bersama dengan satu ruas jahe yang telah dimemarkan dan sedikit garam. Rebus hingga mendidih dan daging ayam lebih empuk kemudian tiriskan.
  2. Tumis bawang merah, bawang bombay dan bahan-bahan yang dihaluskan tadi sampai layu. Kemudian, tambahkan tomat, jahe, sere, kayu manis, daun salam, daun jeruk, daun pandan, kayu manis, dan pekak hingga harum.
  3. Masukkan ayam dan aduk sampai bumbu-bumbu tadi tercampur dengan ayam. Tambahkan air secukupnya dan diungkep. Kemudian tambahkan gula jawa dan air secukupnya sambil sesekali diaduk agar bumbu tercampur merata.
  4. Tambahkan air jeruk nipis dan setelah daging dirasa empuk serta rasanya sudah mantap angkat dan sajikan.
 Note:
  • Jangan lupa cuci bersih dulu semua bahan, kecuali air (air kog diairi :P), minyak, gula dan garam (udah tau!!!ya sapa tau lupa, hehe...
  • Untuk membuat rica-rica, biasanya bagian tubuh yang lebih sering digunakan bagian sayap dan kepala+leher.
  • Pekak atau bunga lawang itu salah satu rempah-rempah yang bentuknya kayaknya bintang dengan sudutnya pipih.
  • Jumlah bahan-bahan yang digunakan tergantung selera, misal ingin rasanya pedas sekali, ya,tinggal jadiin cabe merahnya sekilo, hehehe...
  • Kalau susah cari bahan-bahannya, masak aja seadanya atau kalau hasilnya kurang pas di lidah ya dipas-pasin deh, sama temen gitu hehehe... semua kembali ke selera masing-masing orang, jadi.... masalah selera, kembali padamu :D

Kamis, 20 Oktober 2011

Ada Kasih di Angkot D2 (Part I)



Aku masih ingat, hari itu hari Jumat pukul satu siang antara Gejayan- Gemawang. Aku duduk tepat di depan seorang simbah (baca: nenek) tua dan seorang suster (baca: biarawati) di sebuah angkutan mini D2. Kudengarkan percakapan mereka sepanjang perjalananku. Tanpa sengaja kupandangi penampilan simbah itu . Ya, aku merasa lebih klop menyebutnya “simbah”, terkesan lebih njawani (berbau Jawa ) daripada kata “nenek”. Ia berkebaya lusuh dengan jarik (baca: kain) yang dipakai tidak sampai menutupi seluruh kakinya, bersandal jepit sangat sederhana, berselempang selendang yang dipakai sebagai p e n y imp a n b awa a n n y a, dan bersanggul rambut sendiri yang sudah memutih. Tubuhnya pun kurus kering, wajahnya sangat polos dan letih karena beban hidup yang berat, kulit tangan dan kaki yang sudah kisut (berkerut) dan gelap dimakan usia. Aku menduga simbah ini berusia di atas 70 tahun, sangat jauh dari usiaku maupun suster di sampingnya. Di tangannya aku melihat uang receh yang ia pegang erat yang sepertinya akan digunakannya untuk membayar ongkos angkot.
“Simbah mau ke mana?”, tanya suster ini tiba-tiba sambil tersenyum . Aku kurang mendengar dengan jelas kemana tujuan si simbah karena bisingnya suara kendaraan sepanjang perjalanan ini. Yang kutangkap, simbah ini nantinya akan turun di Mirota Kampus (depan KFC Simanjuntak), lalu masih sekali lagi naik angkot menuju rumahnya, entah dimana. Kurasa perjalanan si simbah jauh. Si simbah balik bertanya pada sang suster, “Asalnya dari mana?” . “NTT, mbah”, jawab si suster. Si simbah pun manggut-manggut (mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti atau setuju) namun sepertinya ia tak
tau di mana itu NTT karena ia mengulangi pertanyaannya hingga 2 kali. Tapi karena jawaban yang diterima tetap sama, ia hanya kembali manggut- manggut, tanda seolah-olah dia sudah mengerti. Aku hanya tersenyum. Walaupun si simbah tidak tahu dimana letak NTT, tapi setidaknya simbah berpakaian lusuh ini bisa berbahasa Indonesia. “Kerjanya kok jauh mbah, kenapa nggak di. rumah aja?”, tanya si suster. “Enggak, harus cari uang buat makan. Dulu ada orang mau bantu, katanya saya ndak usah kerja, suruh datang saja kerumahnya beberapa hari sekali biar dikasih uang atau makan, tapi pas saya kesana, eh jebule (ternyata) malah kecelik (tidak ketemu) karena mereka sudah pindah ke Jakarta, nggak tahu sekarang dimana,” jelas si simbah. Dalam hati aku hanya bisa bergumam, “Hah?”, Ya, walaupun aku tidak tahu pasti apa pekerjaan si simbah. Tapi,  aku yakin pekerjaannya pasti halal dan yang pasti tidak merugikan orang lain. Aku begitu yakin setiap melihat sorot mata dan mimik wajahnya yang begitu jujur dan tulus.
“Kenapa nggak diantar anaknya aja mbah? kan jauh,” lanjut si suster. “Anak dan cucu saya sudah mati semua kena gempa kemaren. Saya masih hidup, wong pas pagi-pagi pas gempa saya sudah bangun, nyapu -nyapu depan rumah, lha anak dan cucu saya masih pada tidur di dalam rumah. Mereka mati semua kebruk'an (kerubuhan) di dalam rumah, lha yang yang masih hidup ya cuma tinggal saya tok,” jelas si simbah terbata-bata bukan karena terharu mengingat kisahnya masa lalu, namun karena keterbatasannya berbahasa Indonesia. Aku terhenyak dan secara refleks aku memandang kedua belah mata simbah ini, terlihat jelas matanya menerawang jauh, entah, begitu dalam, mungkin teringat kisahnya. Kulihat. Bukan air mata namun ketegaran dan kepasrahan begitu jelas tergambar di matanya. Aku hanya bisa,  membatin, “Ya ampun, Tuhan.” Si suster hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil sesekali berkata, “Oh... ya?”. Mungkin ia juga merasa terharu sepertiku.
                Obrolan terus berlanjut, saling.................(to be continue...part II)