Kamis, 20 Oktober 2011

Ada Kasih di Angkot D2 (Part I)



Aku masih ingat, hari itu hari Jumat pukul satu siang antara Gejayan- Gemawang. Aku duduk tepat di depan seorang simbah (baca: nenek) tua dan seorang suster (baca: biarawati) di sebuah angkutan mini D2. Kudengarkan percakapan mereka sepanjang perjalananku. Tanpa sengaja kupandangi penampilan simbah itu . Ya, aku merasa lebih klop menyebutnya “simbah”, terkesan lebih njawani (berbau Jawa ) daripada kata “nenek”. Ia berkebaya lusuh dengan jarik (baca: kain) yang dipakai tidak sampai menutupi seluruh kakinya, bersandal jepit sangat sederhana, berselempang selendang yang dipakai sebagai p e n y imp a n b awa a n n y a, dan bersanggul rambut sendiri yang sudah memutih. Tubuhnya pun kurus kering, wajahnya sangat polos dan letih karena beban hidup yang berat, kulit tangan dan kaki yang sudah kisut (berkerut) dan gelap dimakan usia. Aku menduga simbah ini berusia di atas 70 tahun, sangat jauh dari usiaku maupun suster di sampingnya. Di tangannya aku melihat uang receh yang ia pegang erat yang sepertinya akan digunakannya untuk membayar ongkos angkot.
“Simbah mau ke mana?”, tanya suster ini tiba-tiba sambil tersenyum . Aku kurang mendengar dengan jelas kemana tujuan si simbah karena bisingnya suara kendaraan sepanjang perjalanan ini. Yang kutangkap, simbah ini nantinya akan turun di Mirota Kampus (depan KFC Simanjuntak), lalu masih sekali lagi naik angkot menuju rumahnya, entah dimana. Kurasa perjalanan si simbah jauh. Si simbah balik bertanya pada sang suster, “Asalnya dari mana?” . “NTT, mbah”, jawab si suster. Si simbah pun manggut-manggut (mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti atau setuju) namun sepertinya ia tak
tau di mana itu NTT karena ia mengulangi pertanyaannya hingga 2 kali. Tapi karena jawaban yang diterima tetap sama, ia hanya kembali manggut- manggut, tanda seolah-olah dia sudah mengerti. Aku hanya tersenyum. Walaupun si simbah tidak tahu dimana letak NTT, tapi setidaknya simbah berpakaian lusuh ini bisa berbahasa Indonesia. “Kerjanya kok jauh mbah, kenapa nggak di. rumah aja?”, tanya si suster. “Enggak, harus cari uang buat makan. Dulu ada orang mau bantu, katanya saya ndak usah kerja, suruh datang saja kerumahnya beberapa hari sekali biar dikasih uang atau makan, tapi pas saya kesana, eh jebule (ternyata) malah kecelik (tidak ketemu) karena mereka sudah pindah ke Jakarta, nggak tahu sekarang dimana,” jelas si simbah. Dalam hati aku hanya bisa bergumam, “Hah?”, Ya, walaupun aku tidak tahu pasti apa pekerjaan si simbah. Tapi,  aku yakin pekerjaannya pasti halal dan yang pasti tidak merugikan orang lain. Aku begitu yakin setiap melihat sorot mata dan mimik wajahnya yang begitu jujur dan tulus.
“Kenapa nggak diantar anaknya aja mbah? kan jauh,” lanjut si suster. “Anak dan cucu saya sudah mati semua kena gempa kemaren. Saya masih hidup, wong pas pagi-pagi pas gempa saya sudah bangun, nyapu -nyapu depan rumah, lha anak dan cucu saya masih pada tidur di dalam rumah. Mereka mati semua kebruk'an (kerubuhan) di dalam rumah, lha yang yang masih hidup ya cuma tinggal saya tok,” jelas si simbah terbata-bata bukan karena terharu mengingat kisahnya masa lalu, namun karena keterbatasannya berbahasa Indonesia. Aku terhenyak dan secara refleks aku memandang kedua belah mata simbah ini, terlihat jelas matanya menerawang jauh, entah, begitu dalam, mungkin teringat kisahnya. Kulihat. Bukan air mata namun ketegaran dan kepasrahan begitu jelas tergambar di matanya. Aku hanya bisa,  membatin, “Ya ampun, Tuhan.” Si suster hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil sesekali berkata, “Oh... ya?”. Mungkin ia juga merasa terharu sepertiku.
                Obrolan terus berlanjut, saling.................(to be continue...part II)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar